Kediri (tahukediri.id) – Pagi pertama di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 24 Kediri dipenuhi haru dan harapan. Gedung Kantor BPK ASN di Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri kini menjadi rumah baru bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera yang bertekad menggapai masa depan lebih baik.
Wiji Astutik, warga Kecamatan Kandat kelahiran 1979, tak pernah membayangkan anak ketiganya, Mentari Aprilia, bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Sebagai buruh tani yang suaminya sakit dan tak bekerja, Wiji harus mengatur napas dalam menghadapi keterbatasan.
“Saya PKH, ada sekolah gratis. Senang saja, bisa meringankan bagi orang tua yang tidak punya biaya. Masuk ya gratis, termasuk seragam dan perlengkapannya. Tidur di sini dan menginap di sini,” tuturnya.
Saat adik Mentari masuk SMP, Wiji sempat hampir menyerah. Ia berpikir anak ketiganya tak akan bisa lanjut sekolah karena tak ada biaya.
“Dulunya tidak akan disekolahkan saja, karena adiknya masuk SMP. Tidak ada biaya. Kemudian ada sekolah gratis,” ungkapnya.
“Anak saya bernama Mentari Aprilia, anak ketiga dari empat bersaudara. Adiknya SMP kelas satu. Adiknya kalau bisa nanti SMA bisa diterima juga di sini, saya tambah senang. Jika tidak ada sekolah rakyat, April nyaris tidak bersekolah,” lanjutnya.
Kisah serupa datang dari Sri Utami, ibu berusia 50 tahun asal Janti, Kecamatan Wates. Ia menyekolahkan putranya, Rizal Muhammad Febi (15), di SRMA 24 Kediri dengan harapan akan ada masa depan yang lebih baik untuk keluarganya.
“Bagus saja menurut saya. Saya berpikir, sekolah rakyat, pasti anaknya dididik lebih baik, kan ada pengawasan ketat, tidak seperti di rumah. Juga anaknya tidak mungkin macam-macam daripada sekolah di luar,” ungkapnya.
“Pertama ditunjukkan, asramanya juga bersih, ada yang mengawasi dan gurunya masuk di sini. Untuk masuk sini, ini kan dari PKH. Targetnya orang kurang mampu. Saya termasuk yang dapat PKH,” paparnya.
Sri Utami bekerja sebagai pedagang, sedangkan suaminya yang dahulu bekerja di PLN dan kini ikut pekerjaan kelistrikan lain setelah pengurangan karyawan.
“Pasti ada kekhawatiran sebagai seorang ibu, karena anak saya sering kena pusing. Masalah kesehatan anak yang bikin khawatir itu,” katanya dengan nada yang mencerminkan beban sebagai orang tua. Tetapi Utami berdoa untuk kebaikan anaknya selama berada di asrama.
Di antara 100 siswa yang terdaftar, ada juga Achmad Deva A (16), warga Desa Jambangan, Kecamatan Papar. Ia kini resmi menjadi bagian dari SRMA 24 setelah mendaftar sejak Juni tanpa melalui tes.
“Sekolahnya sangat baik, fasilitasnya juga baik, bisa mendapatkan teman-teman baru,” katanya.
Deva mengaku, dari keluarga ekonomi kurang mampu. Ibunya sebagai penerima PKH. Ayah Deva bekerja sebagai kuli bangunan, sementara ibunya adalah asisten rumah tangga.
Melalui jalur bantuan, mereka akhirnya bisa menyekolahkan anaknya di tempat yang tidak hanya memberikan pendidikan, tapi juga kehidupan yang lebih layak.
SRMA 24 Kediri memang dirancang sebagai sekolah berbasis asrama yang memberi perhatian khusus kepada siswa dari keluarga tidak mampu. Pada hari pertama pembelajaran, hanya satu siswa yang belum hadir. Hari ini, sekolah ini juga dijadwalkan akan dikunjungi oleh Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana. ***
Reporter : Nanik Dwi Jayanti