Kediri (tahukediri.id) – Dinas Kesehatan Kota Kediri menggelar Monitoring dan Evaluasi (Monev) Logistik Program TBC Tahun 2025 di Ruang Teratai Hotel Lotus, Kamis (4/12). Kegiatan ini menghadirkan perwakilan Puskesmas dan rumah sakit se-Kota Kediri untuk memastikan pengelolaan logistik TBC OAT Sensitif Obat (SO), OAT Resistan Obat (RO), Terapi Pencegahan TBC (TPT), hingga non-OAT agar berjalan lebih tertib, akurat, dan mampu mendukung keberlangsungan pengobatan pasien.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Kediri, Hendik Suprianto, menegaskan bahwa logistik merupakan aspek yang sangat riskan sehingga membutuhkan ketelitian dalam pencatatan maupun pelaporan. Ia mengingatkan bahwa ketidaktertiban data berpotensi menimbulkan selisih stok, temuan pemeriksaan, hingga kecurigaan penyalahgunaan obat.
“Kalau pencatatan dan pelaporan tidak tertib, ujungnya bisa ada temuan. Kita cegah itu dengan cara menata sejak awal, jangan ditunda. Data yang tidak di-entry akan menumpuk dan akhirnya jadi masalah, termasuk saat provinsi memantau di SITB,” ujarnya.
“Selisih data bisa dianggap penyalahgunaan obat, padahal bukan. Karena itu pencatatan harus patuh dan rutin agar logistik lancar dan tidak muncul obat ED yang merugikan negara.”
Hendik juga menekankan pentingnya antisipasi obat kedaluwarsa (expired date/ED). Menurutnya, logistik yang tertib tidak hanya memastikan obat tersalurkan tepat waktu, tetapi juga mencegah pemborosan anggaran negara.
Perubahan tata kelola logistik kini masuk ke fase baru setelah sistem pelaporan SITB dan SMILE mulai diintegrasikan. Hal ini memerlukan penyesuaian teknis dari seluruh fasilitas kesehatan.
Subkoordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Kota Kediri, Roni Sabachtani, menjelaskan bahwa seluruh logistik program kini diarahkan untuk terkonsolidasi dalam satu sistem agar lebih mudah dipantau.
“Kalau dulu tiap program punya aplikasi sendiri. Sekarang semua dikumpulkan menjadi satu. Perubahan ini mendadak dan kita harus menyesuaikan. Karena itu monev seperti ini akan terus dibutuhkan, setahun dua atau tiga kali, agar kita tahu kondisi real logistik di lapangan dan menemukan solusinya,” jelasnya.
Roni menegaskan bahwa program tetap bertanggung jawab atas logistik di fasilitas kesehatan, sehingga akurasi data menjadi kunci dalam proses permintaan, distribusi, maupun perencanaan obat.
Sementara itu, Subkoordinator Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan (Farmalkes), Erna Hidayati, menyoroti tantangan penggunaan dua aplikasi sekaligus, yaitu SITB dan SMILE. Kemenkes menetapkan SMILE sebagai basis data yang harus digunakan dalam logistik, sementara SITB digunakan untuk program TBC.
“Suka tidak suka, data yang dipakai nasional itu SMILE. Jadi kita harus menerima perubahan ini. Logistik adalah tanggung jawab farmasi: menjaga obat selalu tersedia, pas, dan tidak terjadi ED,” tegasnya.
“Perencanaan hanya bisa tepat kalau datanya benar. Input harus akurat, karena kalau data SMILE tidak valid, kita khawatir nanti kasusnya seperti vaksin, ketika perencanaan muncul dari data real time.”
Erna menambahkan bahwa farmasi berupaya meminimalkan ED melalui evaluasi berkelanjutan, koordinasi lintas program, dan kemungkinan relokasi stok ke daerah lain apabila diperlukan.
Melalui monev ini, Dinas Kesehatan berharap puskesmas dan rumah sakit semakin terorganisir dalam mengelola stok, mencegah obat kedaluwarsa, dan memastikan data yang tersaji di SITB maupun SMILE benar-benar mencerminkan kondisi di lapangan. Ketertiban pencatatan menjadi bentuk akuntabilitas sekaligus dasar penting dalam perencanaan logistik TBC.
Kegiatan ini menjadi langkah strategis untuk mengantisipasi perubahan sistem, meningkatkan koordinasi lintas program, serta memastikan pelayanan TBC di Kota Kediri berjalan efektif dan berkelanjutan. ***
Reporter: Inggar Tania Laurina

