Kediri (tahukediri.id) – Di antara deru modernisasi dan dominasi alat produksi pabrikan, suara dentingan logam dari sebuah rumah di Kelurahan Banaran, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, masih terdengar nyaring. Itulah suara palu besi milik Margiono (68), seorang pandai besi tradisional yang tetap teguh mempertahankan warisan leluhurnya.
bukan sekadar perajin logam. Ia adalah penjaga tradisi, pewaris keahlian turun-temurun dalam mengolah besi menjadi alat pertanian seperti sabit dan cangkul. Dari teras rumah yang sekaligus menjadi bengkel kerjanya, setiap hari Margiono bersama anak laki-lakinya, Zaenuri, bekerja dengan telaten.
Mereka memanaskan, menempa, dan membentuk plat besi dengan peralatan sederhana yang tak lekang oleh waktu.
“Keahlian dalam mengolah plat besi ini saya dapatkan dari ayah sejak tahun 1978 silam sebelum meninggal,” kata Margiono saat ditemui di rumahnya.
Asap arang sisa pembakaran dan bau logam panas menjadi bagian dari keseharian mereka. Bagi Margiono, pandai besi bukan hanya cara untuk mencari nafkah, tetapi juga bentuk penghormatan kepada sejarah keluarga dan budaya yang telah hidup selama ratusan tahun.
Menariknya, di saat profesi ini makin langka dan nyaris tergerus zaman, permintaan terhadap hasil kerajinan Margiono justru masih stabil, terutama saat musim panen tiba. Seperti musim panen tebu saat ini, sabit menjadi produk yang paling banyak dicari.
“Permintaan banyak ketika sudah memasuki masa panen tebu seperti saat ini. Dalam seminggu bisa tembus 10 buah sabit, sedangkan untuk cangkul kurang lebih 5 buah setiap bulan,” sebut Margiono.
Dengan harga Rp 135.000 untuk satu buah sabit dan Rp 180.000 untuk cangkul, produk buatan Margiono bersaing tidak hanya karena fungsinya, tetapi juga karena nilai keaslian dan ketekunan yang melekat di setiap goresan dan pukulan palunya.
Margiono dan Zaenuri bukan hanya menjual alat pertanian, mereka menjual dedikasi, sebuah cerita panjang tentang ketekunan, keberanian melawan arus, dan penghormatan terhadap akar budaya. ***