Lamongan (tahukediri.id) – Siapa sangka, wingko babat yang selama ini dikenal berasal dari Semarang ternyata memiliki sejarah panjang yang berakar di Babat, sebuah kecamatan di Kabupaten Lamongan. Keberadaannya bahkan telah bertahan lebih dari satu abad sejak pertama kali dibuat pada tahun 1898.
Seorang penjelajah kuliner, Maria Abiring, membagikan pengalamannya saat menelusuri asal-usul wingko babat. Perjalanannya dimulai dengan menaiki kereta Gumarang selama delapan jam, menikmati pemandangan di balik jendela sebelum akhirnya tiba di Babat.
Sejarah Wingko Babat yang Terlupakan
Setibanya di Babat, Maria menemukan banyak peninggalan sejarah, termasuk rumah panggung dari kayu jati yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Menurutnya, Babat adalah kota tua yang terlupakan, padahal dulunya merupakan pusat pemerintahan Belanda yang strategis karena menghubungkan beberapa kabupaten seperti Bojonegoro, Tuban, dan Jombang.
Namun, kejutan terbesar terjadi ketika ia menemukan sebuah puisi berjudul “Puisi Wingko.” Maria bertanya-tanya, “Wingko itu bukannya dari Semarang?” Hingga akhirnya, ia memasuki sebuah lorong bangunan dan menemukan dua tungku besar yang masih digunakan untuk memanggang wingko secara tradisional.
Asal-Usul Wingko Babat
Dari penelusurannya, Maria mengungkapkan bahwa wingko pertama kali dibuat di Babat oleh generasi pertama peranakan Tionghoa yang datang ke Hindia Belanda.
“Generasi pertama datang ke Hindia Belanda yang menciptakan ini di 1898, berbahan tepung beras ketan karena mengalami perkawinan budaya. Hal ini ditambah campuran parutan kelapa, ini sudah populer sebagai cemilan khas Babat,” ujarnya.
Seiring waktu, dalam keluarga pencipta wingko ini berpindah tempat. Sang saudara perempuan merantau ke Semarang pada tahun 1946 dan mulai memproduksi wingko di sana. Dari sinilah muncul persepsi bahwa wingko babat berasal dari Semarang, meskipun hanya 5 persen produksinya berasal dari kota tersebut.
Tradisi yang Tetap Terjaga
Di Babat, wingko masih dibuat dengan cara tradisional oleh sekitar 20 karyawan yang telah terampil dalam proses pembuatannya. “Di sini tempat pembuatan yang masih tradisional dengan karyawan 20 di antara mereka sudah ahli dan harmonis dalam mengerjakan proses pembuatan,” kata Maria.
Uniknya, wingko di Babat tersedia dalam ukuran besar, bahkan ada yang sebesar kepala manusia untuk mereka yang ingin menikmati lebih banyak. Proses pemanasannya dilakukan secara bertahap di dua tungku berbeda sebelum akhirnya siap disajikan.
Bu Suryati, seorang karyawan berusia 60 tahun, telah bekerja di tempat ini sejak usia 20 tahun. “Kerjanya tinggi, gimana nggak tinggi ini ngaduk-ngaduk bisa 4 jam nggak boleh berhenti,” kata Maria, menggambarkan betapa sulitnya proses pembuatan wingko secara manual.
Selain wingko, tempat ini juga memproduksi jenang dan madu mongso. Salah satu rahasia bertahannya usaha ini selama lebih dari satu abad adalah perhatian pemilik terhadap karyawannya. Bahkan, mereka diperbolehkan memelihara burung perkutut yang sering memenangkan kontes.
Dengan sejarah panjangnya, wingko babat tetap menjadi legenda kuliner yang bertahan hingga generasi kelima. Meskipun Babat hanya sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Lamongan, tempat inilah yang menjadi saksi lahirnya wingko yang kini dikenal luas. ***