Kediri (tahukediri.id) – Sri Wahyuni (60), seorang pengrajin gula semut asal Dusun Kranggan, Desa Nambaan, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, telah menekuni usaha ini sejak tahun 2014. Bersama suaminya, Gundono (58), ia mengembangkan produksi gula merah hingga berinovasi menciptakan gula semut yang lebih praktis digunakan.
Awal Mula Usaha
Pada tahun 2014, Sri Wahyuni mengikuti pelatihan mandiri di Yogyakarta selama lima hari dengan biaya Rp2,5 juta per pertemuan. Dari pelatihan itu, ia mulai memproduksi gula merah dalam berbagai bentuk, seperti cetakan koin, bumbung, batok tanggung, dan batangan.
“Kita proses pembuatan gula merah mulai tahun 2014. Awalnya kita membuat gula dalam cetakan koin, bumbung, terus batok tanggung dan batangan. Tahun 2018 saya berinovasi lagi membuat gula semut seperti ini,” ungkap Sri Wahyuni.
Alasan Berinovasi ke Gula Semut
Menurutnya, produksi gula semut lebih praktis dibandingkan gula batangan karena tidak perlu disisir sebelum digunakan. Selain itu, gula semut lebih mudah dikemas dan memiliki daya tarik lebih tinggi di pasar.
“Motivasinya apa? Karena dalam segi kepraktisan, lebih praktis kalau membuat gula semut, atau istilahnya gula kristal. Sehingga dalam pemakaian, tidak perlu menyisir seperti yang berbentuk. Ini tinggal ambil saja,” jelasnya.

Pasar dan Kendala Produksi
Produk gula semut hasil karyanya telah dipasarkan di berbagai daerah, mulai dari Kediri, Tulungagung, Nganjuk, dan Blitar. Bahkan, produknya telah menembus pasar luar kota seperti Bandung dan Manado, serta ekspor ke Jepang dan Malaysia.
“Lokalan sudah, terutama di supermarket-supermarket di Kabupaten Kediri sudah ada. Kemudian merambah lagi ke Tulungagung, Nganjuk, dan Blitar. Kalau luar kota yang lebih jauh lagi, Bandung, Manado. Bahkan, kita pernah dimintai ke Jepang, walaupun hanya sepuluh piece. Kemudian ke Malaysia 1 ton,” ujarnya.
Namun, ia menghadapi kendala dalam memenuhi permintaan ekspor dalam jumlah besar karena keterbatasan alat dan permodalan. Saat ini, produksinya masih dilakukan secara manual, sehingga tidak bisa memenuhi permintaan hingga 7 ton per minggu yang sempat ia terima.
“Sebetulnya itu kita dapat orderan dalam satu minggu kita suruh produksi 7 ton. Mengingat kita ada kendala di alat. Kalau kapasitas besar, sedangkan kita belum punya alatnya, karena kita masih kerja manual. Kedua, dari segi permodalan,” tambahnya.
Proses Produksi dan Harga Jual
Proses pembuatan gula semut lebih memakan waktu dibandingkan gula batangan, namun hasilnya lebih bernilai ekonomis. Saat ini, Sri Wahyuni menjual gula semut dengan harga Rp25.000 per kg untuk produk curah dan Rp20.000 per 200 gram dalam kemasan standing pouch.
“Prosesnya tidak sulit, cuma banyak tahapan kalau dibanding gula dalam bentuk koin, bumbung, dan batangan. Itu lebih cepat dari gula semut ini. Prosesnya agak lama. Sehingga makan waktu. Dan hasilnya kalau masih manual itu masih sedikit,” katanya.
Dalam seminggu, Sri Wahyuni mampu menjual antara 2 hingga 2,5 kwintal gula semut. Jika permintaan dalam jumlah besar, ia biasanya merekrut tetangga untuk membantu produksi.
“Kalau hanya sedikit kita kerjakan berdua. Tetapi kalau partai besar kita merekrut tetangga. Biasanya kalau gula batangan, satu tim ada 8 orang. Itu satu hari bisa sampai 1-1,5 ton. Sehingga orderan 6 ton itu bisa kita kerjakan dalam 6 hari saja,” terangnya.
Sri Wahyuni berharap adanya perhatian dari pemerintah untuk memberikan bantuan permodalan serta peralatan produksi, sehingga usahanya dapat berkembang lebih besar dan memenuhi permintaan pasar yang lebih luas. ***