Kediri (tahukediri.id) – Di balik senyum topeng dan kostum warna-warni, tersimpan cerita pilu para badut jalanan yang membanjiri sudut lampu merah di Kediri. Mereka adalah potret nyata dari persinggungan antara tradisi dan modernitas, antara bertahan hidup dan tergusur zaman.
Salah satunya adalah Agus. Pria 40 tahun ini dengan lugas bercerita tentang transisi pahit dalam hidupnya: dari tukang becak menjadi badut jalanan di daerah Pare. Profesinya yang lama perlahan tak lagi mampu menyambung hidup, kalah bersaing dengan derasnya arus transportasi online.
“Kira-kira tahun 80-an lah saya sudah mangkal (tukang becak) di sini. Ternyata sekarang ada Gojek, Grab gituh lah, kan kalah saingan tuh, terus akhirnya pindah ke jadi Badut sini,” ujarnya, menggambarkan sebuah titik balik yang dipaksa oleh keadaan.
Dalam perjuangannya, Agus tidak sendirian. Ia menemukan semacam sistem pendukung dalam bentuk komunitas. Komunitas inilah yang mengatur ritme kerja harian mereka dan berfungsi sebagai sistem peringatan dini.
“Ketua nya itu cuman ini, mengkoordinasi jam segini sampai jam segini. Iya, ngasih saran, gitu tadi, nanti ada apa (penertiban dari Satpol PP). Dari atasan enggak boleh ngamen ya, disuruh minggir semua,” terangnya.
Menurut Agus, di wilayah Pare saja terdapat 12 badut jalanan yang tersebar, sebuah komunitas kecil yang lahir dari kesamaan nasib. Latar belakang mereka beragam, mencerminkan luasnya spektrum orang yang terdampak oleh perubahan ekonomi.
“Macam-macam (latar belakangnya), tukang batu juga ada, lulusan SMA, masih muda juga ada. Paling muda, ini di bawah saya kira-kira ya baru nikah kemarin. Umur 20-an kira-kira, 19 sudah nikah,” imbuhnya.
Potret ini menunjukkan bahwa fenomena badut jalanan bukan sekadar pilihan, melainkan sering kali menjadi jalur pengangguran terselubung bagi berbagai lapisan masyarakat.
Namun, kehidupan di jalanan penuh dengan ketidakpastian dan risiko. Razia Satpol PP adalah ancaman harian. Agus berbagi pengalaman pahitnya saat sekali kali diamankan.
“Pernah (diamankan). Iya, dikasih saran-saran tok. Habis itu didiamkan, nggak diantar pulang. Pulang sendiri-sendiri. Waktu itu untung masih ada uang ngumpul Rp15.000, eh Rp12.000, jadi ya ikut truk-truk itu,” kenangnya, menggambarkan betapa rapuhnya posisi mereka.
Musim juga mempengaruhi geliat pekerjaan mereka. Menurut Agus, tekanan ekonomi menjelang hari-hari besar justru memperbanyak jumlah pemain.
“Kalau dilihat biasanya yang menghadapi lebaran atau puasa, itu keluar semua. Pemain lama-lama itu ada,” jelasnya. Ironisnya, di balik seringnya penertiban, mereka merasa hanya dihukum, bukan dibina.
“Dikasih saran aja, enggak ada pelatihan kerja atau bantuan,” kata Agus, menyiratkan harapan yang tak pernah terpenuhi akan sebuah jalan keluar yang lebih permanen. ***
Reporter : Nanik Dwi Jayanti

