Kediri (tahukediri.id) – Di tengah deru zaman yang kian cepat, keberadaan becak kayuh di Pare, Kediri, kian tergerus oleh maraknya ojek online (ojol) dan becak motor (bentor). Moda transportasi tradisional ini perlahan kehilangan pamornya, tergantikan oleh pilihan yang lebih cepat dan modern.
Namun, masih ada suara-suara pelan yang menolak tunduk pada arus itu, suara yang datang dari pedal becak yang tetap dikayuh dengan peluh dan tekad.
Adalah Supardianto (65) dan Wiji Sutrisno (58), dua penarik becak kayuh yang memilih tetap setia pada kayuhan mereka. Bukan karena tak mampu beralih, tapi karena mereka melihat nilai yang lebih besar dari sekadar kecepatan, kesehatan dan rasa syukur.
“Bisa saja beralih ke bentor, tapi saya milih ngayuh untuk jaga kesehatan. Dibilang cukup ya cukup, dibilang enggak ya enggak. Disyukuri aja mbak,” tutur Supardianto saat ditemui reporter tahukediri.id, Selasa (10/6/2025).

Setiap pagi, Supardianto memarkir becaknya di depan Pasar Baru Pare. Hingga pukul 11.00, ia menunggu penumpang dengan sabar. Setelahnya, ia kembali ke rumah untuk menjalankan peran lainnya: sebagai guru ngaji bagi anak-anak di lingkungan sekitarnya.
Sementara itu, Wiji Sutrisno yang juga menggantungkan hidupnya dari kayuhan becak, menghabiskan waktu sore hari dengan menjadi tukang bersih-bersih di rumah warga. Pendapatannya berkisar Rp28.000 hingga Rp30.000 per hari, jauh dari kata mewah, namun cukup bagi mereka yang menjunjung syukur sebagai pedoman hidup.
Di tengah geliat digitalisasi dan efisiensi, kisah Supardianto dan Wiji adalah pengingat bahwa tidak semua harus dikejar dengan kecepatan. Ada pilihan untuk tetap berjalan pelan, asal penuh makna. ***
Reporter : Nanik Dwi Jayanti