Kediri (tahukediri.id) – Cahaya mentari siang di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri terasa tak mampu menghangatkan ruang sidang kasus pembunuhan sadis yang dipenuhi suasana muram. Di hadapan majelis hakim, Yusa Cahyo Utomo duduk kaku.
Pria 35 tahun itu adalah terdakwa dalam kasus pembunuhan satu keluarga di Desa Pandantoyo, Kecamatan Ngancar, yang mengguncang masyarakat Kediri dan sekitarnya. Betapa tidak, para korban adalah keluarganya sendiri.
Dengan suara pelan, Yusa mengungkapkan fakta yang menyayat hati. “Martil yang dimaksud dalam kasus pembunuhan ini saya ambil dari rumah korban, tidak saya bawa dari rumah saya,” ucapnya saat ditanyai penasihat hukumnya, Moh Rofian.
Perkataan itu menjadi awal dari potongan kesaksian yang menyibak kembali luka keluarga besar korban.
Dalam sidang yang digelar Kamis siang itu, 19 Juni 2025, Yusa menjelaskan bahwa martil berada di bawah lincak, tempat tidur bambu, yang selama ini menjadi tempat ayahnya menyimpan peralatan kerja sebagai buruh pemotongan kayu. “Ada martil, sabit, sabit besar, dan gergaji,” lanjutnya.
Pertanyaan pun mengarah pada motif. Jika sejak awal ia berniat menghabisi nyawa para korban, mengapa yang dipilih justru palu kecil? “Jika saya ingin membunuh, pasti saya ambil sabit besar,” jawab Yusa, menundukkan kepala. “Karena saya memang tidak membunuh, tapi hanya melukai saja.”
Potongan dialog ini menjadi bahan renungan publik, mengingat terdakwa didakwa Jaksa Penuntut Umum Ni Luh Ayu dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, subsider pasal 338 KUHP, serta pasal 365 KUHP terkait pencurian dengan kekerasan.
Fakta bahwa yang terbunuh adalah kakaknya sendiri, Kristina, bersama suami dan satu anak mereka, memperdalam luka batin yang ditinggalkan.
Motif di balik tindakan Yusa pun terkuak, permintaan pinjaman uang yang ditolak sang kakak memicu amarah mendalam. Dalam sekejap, amarah berubah menjadi tragedi berdarah. Satu dari dua keponakannya tewas, sementara satu lainnya bertahan, meski sempat kritis.
Suasana ruang sidang seolah membeku setiap kali nama korban disebut. Tak hanya tentang hukum, sidang ini menjadi panggung pilu tentang pecahnya ikatan keluarga, tentang luka yang tak mampu disembuhkan waktu, dan tentang batas tipis antara manusia dan amarah. ***