Kediri (tahukediri.id) – Perkutut bukan sekadar burung peliharaan, tetapi simbol satria Jawa yang menyelaraskan hati dan jiwa. Simak makna filosofis di balik kecintaan terhadap perkutut.
Perkutut sejak lama menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa. Bukan hanya sekadar burung peliharaan, tetapi perkutut memiliki nilai filosofis yang mendalam. Keberadaannya melambangkan keselarasan batin serta kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.
Perkutut dan Maknanya dalam Budaya Jawa
Mas Aziz, seorang pecinta perkutut, mengungkapkan pandangannya tentang filosofi burung ini.
“Perkutut adalah simbol satria Jowo. Kenapa kok perkutut kok identik dengan orang Jawa. Iya tentu, karena kutut kebanyakan bisa hidup di tanah Jawa. Orang yang memelihara perkutut, orang yang suka dengan perkutut itu ibaratnya 1 dibanding 100 orang. Karena perkutut itu bukan hanya dari suaranya saja yang bisa kita nikmati, tetapi ada ketentraman hati,” katanya dikutip tahukediri.id dari saluran Youtube Blangkon Muter.
Perjalanan Menjadi Pecinta Perkutut
Mas Aziz mengakui bahwa awalnya ia lebih menyukai burung kicauan seperti Murai Batu. Namun, seiring waktu, ia menemukan kecocokan dengan perkutut.
“Dari awal saya pernah memelihara burung kicauan. Pada satu titik akhirnya saya menemukan satu keinginan. Walaupun dari dulu saya suka dengan perkutut. Tetapi butuh proses mungkin. Seandainya kita bagai kaum muda sekarang disuruh milih, satu dari dua pilihan, mohon maaf burung kicauan yang lagi ngetrend contohnya murai batu. Kita gantungkan murai dan perkutut. Kebanyakan kaum muda pasti memilih Murai Batu. Karena Murai dari sisi suara dia nyaring bisa meniru berbagai suara burung, dari postur tubuh dia menawan. Tetapi tatkala seseorang memilih perkutut. Dia pasti punya laku yang lain. Bisa dicermai. Anak muda yang suka dengan perkutut, dia pasti memiliki ciri khas berbeda. Dari pertilaku, dari tutur katanya, pasti berbeda dari pemuda lain,” bebernya.
Menurutnya, perkutut bukan sekadar burung dengan suara merdu, tetapi lebih dari itu, ia membawa ketenangan batin bagi pemiliknya.
Katuranggan dan Makna Filosofis Perkutut
Dalam tradisi Jawa, perkutut memiliki berbagai jenis yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Salah satunya adalah katuranggan banyu mili, yang dipercaya membawa keberkahan dan kelancaran rezeki bagi pemiliknya. Namun, Mas Aziz menekankan bahwa hal ini bergantung pada karakter dan laku hidup seseorang.
“Awalnya saya punya banyu mili, harapan rezeki saya lancar, tetapi katuranggan setelah kita amati, ternyata tergantung pemiliknya. Mungkin di tempat seseorang kematangan berfikir, terus laku, tirakat dan sebagainya, itu banyu mili cocok. Dia memperoleh perkutut katuranggan banyu mili, dia disayangi, diwelasi, kawulane Gusti Allah yang berbentuk hewan,” paparnya.
Ritual dan Kedekatan dengan Perkutut
Sebagai pecinta perkutut, Mas Aziz merasa ada keunikan tersendiri dalam memeliharanya. Dari cara memandikan hingga interaksi sehari-hari, perkutut memberikan ketenangan tersendiri bagi pemiliknya.
“Menjelang kepala 4 ini (40 tahun) saya beranikan memelihara perkutut. Anekhnya, awalnya saya memandikan perkutut saya tidak beda. Ternyata memandikan perkutut itu seperti memandikan bayi. Dipegang pelan-pelan. Dimandikan, dan dielus-elus kepalanya. Kita lebarkan sayapnya. Kita pijat-pijat, Le tole tak dusi. Ayo adus. Ternyata perkutut itu manut. Antengo yo le. Ternyata perkutut itu bisa. Karena perkutut sendiri itu, hewan ada hati, ada otak, tetapi tidak punya akal,” imbuh dia.
Bagi Mas Aziz, perkutut bukan sekadar burung peliharaan biasa. Ia menjadi bagian dari perjalanan hidup dan penyelarasan batin seseorang. Setiap pemilik perkutut memiliki ikatan emosional yang khas dengan burung ini, menjadikannya lebih dari sekadar hobi, melainkan bagian dari filosofi kehidupan. ***