Kediri (tahukediri.id) – Siapa yang tahu, asal mula kesenian Bantengan Kediri berasal dari Desa Gadungan, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri.
Namun seiring perkembangan zaman, lakon kesenian di daerah Gadungan semakin berkurang. Tercatat, dari 11 kelompok yang memiliki induk, kartu identitas sebagai syarat izin tampil dalam event maupun kebutuhan administrasi lainnya , hanya ada 5 grup bantengan yang aktif hingga kini.
Ari Puji Prasetyo, salah satu pengurus kesenian bantengan tertua di Kediri yakni Bantengan Suromenggolo mengatakan bahwa, ada banyak faktor mereka tidak aktif, di antaranya kepala banteng rusak, kurangnya perawatan, para pengurus merantau, atau pewarisnya meninggal tanpa ada yang melanjutkan.
“Macam-macam Mbak, faktornya ada yang kayak kepala bantengnya sudah rusak terus enggak dirawat lagi, yang ngurusi nggak ada, terus ada yang pada merantau jauh. Terus ada lagi yang punya bantengan itu sudah meninggal, terus yang merawat, yang mengurusin enggak ada,” kata Ari pada reporter tahukediri.id, Rabu (19/11).
Walau banyak daerah mengklaim bantengan, Ari menegaskan bahwa asal mula bantengan di Kediri sebenarnya dari Desa Gadungan. Tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Malang, yang kini dikenal luas dengan gaya bantengannya.
“Bantengan aslinya dari Gadung. Kalau yang di sini kan, ini kan yang tertua. Cuma kan terus
Sekarang itu kalah diperkembangkan sama daerah sana,” tegasnya.
Berbeda dengan bantengan daerah lainnya, Kesenian Bantengan Kediri memiliki ciri khas tersendiri mulai dari bentuk kepala sapi yang tampak lebih sederhana, kerudung, tarian hingga musik yang dimainkan.
“Musiknya beda, terus tariannya juga beda, terus yang yang paling ngetok (kelihatan) itu bedanya di kepala, sama kerudung belakang. Di sini cuma kain di luar saja. Lebih sederhana. Soalnya dari dulu emang seperti itu ya. Jadi enggak, enggak ada yang berani merubah bentuk ini,” terangnya.
Menurut Ari, kesenian Bantengan Kediri terinspirasi dari Lembu Suro, tokoh legenda Gunung Kelud dan sudah ada sejak zaman kolonial. Konon, dulunya dijadikan alat untuk nakut-nakutin penjajah Belanda.
“Itu dulu katanya terbawa dari ceritanya Gunung Kelud, Lembu Suro dibawa dari situ terus, jarene mbah-mbah dulu itu dibuat nakut-nakutin Londo,” ujarnya.
Ari mengungkapkan bahwa para sesepuh desa seperti Mbah Kung kerap bercerita bahwa bantengan telah dimainkan sejak masa muda mereka. Bahkan ada kisah bahwa dahulu terdapat dua banteng, jantan dan betina. Kini yang tersisa hanya banteng betina, sementara banteng jantan disebut-sebut dibawa ke Museum Bung Karno, namun keberadaannya tak pernah diketahui lagi.
Nama resmi “Bantengan Suromenggolo” sendiri mulai digunakan pada tahun 2012, meski keberadaan bantengan di wilayah itu sebenarnya telah ada jauh sebelumnya. “Dulu cuma Bantengan Gadungan, belum ada induknya. Tahun 2012 baru kami tetapkan identitasnya,” jelasnya.
Untuk menjaga kelestarian budaya, setiap tahun Desa Gadungan menggelar parade bantengan. Hanya saja dua tahun belakang kesenian bantengan tersebut tudak seramai tahun-tahun sebelumnya, karena digelar di jalan desa.
“Setiap tahun kita menggelar parade bantengan, tapi dua tahun belakang itu digelar di dalam, kan SE nya nggak boleh di jalan Raya. Jadi dua tahun kemarin, dusun yang ngadain,” kata Kepala Desa Gadungan Purwanto.
Purwanto menambahkan, dulu kesenian Bantengan dijadikan sebagai pembuka untuk gelaran pencak dor di Desa Gadungan.
“Bantengan itu dulunya dijadikan pembuka untuk acara pencak dor di lapangan situ,” imbuhnya.
Meski begitu, semangat melestarikan warisan budaya Kediri tidak menghalangi keterbatasan yang ada termasuk sewa alat dan lainnya yang kadang mereka masih iuran.
“Kalau dari desa sini setiap mau parade itu dikasih uang transport lah kasarannya. Terakhir ini kemarin Rp2 juta. Itu dari pihak panitia, kan acaranya dusun,” tambah Ari.
Sebagai kesenian bantengan tertua di Kabupaten Kediri, Bantengan Suromenggolo juga terbuka untuk siapa pun yang ingin belajar. Meski tidak ada kelas khusus untuk anak-anak, warga yang berminat untuk bergabung dipersilakan ikut berlatih.
“Jadi, dibuka untuk umum lah di sini. Siapa yang mau ikut, nanti sedikit banyak dikasih bimbingan untuk tariannya, karena kan anggaplah ini warisan budaya, apalagi ini yang pertama kali ya di Kediri. Soalnya kalau misalnya enggak dikembangkan kan sayang,” katanya.
Pihaknya berharap ada pemerhati dari pihak terkait agar kesenian Bentengan khas Kediri ini tidak punah. “Harapannya bisa mendapat perhatian kusus dari desa,” tandasnya. ***
Reporter : Nanik Dwi Jayanti

