Kediri (tahukediri.id) – Masjid Agung An-Nur yang terletak di pusat kota Pare, Kabupaten Kediri, kini menghadirkan wajah baru yang lebih segar dan berkarakter setelah dua dekade berlalu sejak renovasi besar terakhir pada tahun 2005. Masjid kebanggaan masyarakat Kabupaten Kediri ini tak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga saksi bisu perkembangan spiritual dan budaya selama hampir lima dekade.
Didirikan pertama kali pada tahun 1975 di masa kepemimpinan Bupati Drs. Usrie Sastradiredja, Masjid Agung An-Nur awalnya hanyalah bangunan sederhana dengan halaman luas. Baru pada era Bupati Kol. Inf. Suparyadi di tahun 1995 muncul gagasan untuk memperbesar bangunan masjid menjadi seperti yang dikenal sekarang.
“Dulu itu masjidnya kecil tapi halamannya luas itu tahun 1975 dan memang masjid ini masjid kabupaten,” ungkap Ketua Takmir Masjid Agung An-Nur Pare, Dafid Fuadi, yang telah menjabat selama 20 tahun.
Luas keseluruhan tanah Masjid Agung An-Nur mencapai 4.341,5 meter persegi, dengan desain bertingkat mencakup semi basement seluas 1.283 m², lantai utama 2.155 m², dan lantai atas 905 m². Kapasitas daya tampungnya kini mencapai 3.800 jamaah.
Pembangunan masjid dilakukan dalam tiga tahap besar, dimulai pada 1996 hingga 2003. Versi final bangunan megahnya diresmikan sekitar tahun 2005. Kini, setelah dua dekade, masjid kembali menjalani tahap rehabilitasi.
“Ini kan memang sudah waktunya ya direhab… total pembangunan masjid waktu diherap menjadi besar ini berarti sampai hari ini 20 tahun,” jelas Dafid.
Tak hanya ukurannya yang membesar, transformasi masjid juga menyentuh sisi desain. Berkonsep rumah joglo khas Jawa, bangunan masjid dipadu dengan elemen cahaya—sebuah simbol yang merefleksikan makna dari nama “An-Nur” yang berarti cahaya. Arsitekturnya sendiri dirancang oleh John Portman, arsitek asal Amerika Serikat, dan sempat meraih penghargaan arsitektur terbaik dari Kerajaan Arab Saudi pada peringatan 100 tahun Hari Jadi Kerajaan tersebut pada 1999.
“Jadi konsep An-Nur itu karena disesuaikan dengan nama jadi sehingga ada menara besar dan menara kecil itu semua bercahaya. Tapi ini konsep saja dan ini (bangunan) sudah rusak,” lanjut Dafid.
Nama “An-Nur” juga menyimpan makna historis. Terinspirasi dari dua tokoh penting: Kyai Nurwahid, penyebar awal Islam di wilayah Tulungrejo, Pare; serta Mohammad Noer, Gubernur Jawa Timur pada tahun 1975.
Kini, perubahan visual tampak nyata. Kolam depan masjid diganti dengan taman kurma, sementara area taman lainnya dialihfungsikan sebagai lahan parkir untuk menampung kendaraan jamaah. Beberapa bagian bangunan lainnya juga tengah dalam proses renovasi, termasuk rencana pemindahan akses masuk masjid ke sisi utara.
“Setelah dipikir-pikir perkembangan seperti sekarang ini kalau dari timur itu kadang-kadang orang jauh mau masuk masjid itu bingung lewat mana. Makanya ke depan InsyaAllah jalan masuknya diganti, jadi diganti yang utara,” tandasnya. ***
Reporter : Nanik Dwi Jayanti